3 CERPEN MENARIK UNTUK DI BACA
dwi bekti susilo | 09.30 |
KASIH
SEPANJANG JALAN
Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih
pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku
melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam
aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu
sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh
kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak
banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu
sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal,
pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal
yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia
menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga
akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban,
aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan,
beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang.
Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah
lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam
kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan
sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya
sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota
kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka
urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi
murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan
kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu
banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena
aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras
dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi
istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku
keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk
rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak
membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan.
Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan,
perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang
sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan
mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja,
aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta NaritaExpres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu,
sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam
kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit
kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang
terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal
tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa
tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang
terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku
tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar.
Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim
panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan
kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia
dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi
cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang
menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama
inic" bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat
seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang
terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi
pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat
Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak
berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya
pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan
semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang
norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan
teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan
gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian
bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau
selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia
ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan
menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin
hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik
dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia
sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu
buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan
mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat
anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika
si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku
kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi
juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam
kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini,
diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti
anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu
ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan
ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan
menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah
berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....
Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat
pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga
semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap
sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri
sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau
berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku.
Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa
kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass
di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan
bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum
ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking
area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi
kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang
memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir
memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar
seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu
ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa
lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu
aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah
membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama
kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku.
Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan
waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara
tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada
satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia
telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak
berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya,
"Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan
ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air
mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku
rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan
melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya
aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah
sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali,
betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.
Semua orang pasti memiliki perasaan cinta, karena hal itu merupakan tabi’at dari manusia itu sendiri. Bukankah Allah SWT pernah berfirman dalam Al-Qur’an; ’’Dijadikan indah pula ( pandangan ) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga). (Qs. Ali imron: 14). Kata-kata itu muncul ketika Ustadz Afandi memberikan ceramah di masjid Baitusy syahid.
”Cinta itu memang anugerah, tetapi juga bisa menjadi musibah! (kata Ustadz).Tergantung kita di dalam mengemasnya..! Jikalau cinta itu kita kemas atas dasar ketakwaan kepada Allah, maka cinta itu akan berbuah menjadi anugerah terindah. Tetapi, jika cinta itu kita kemas atas dasar syahwat, maka cinta itu akan menjadi petaka bagi kita! Seperti yang di alami oleh Abdullah.
PEREMPUAN DIBALIK
KERUDUNG
Cinta itu adalah perasaan yang mesti
ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari
langit, bersih dan suci. Hanya tanahnyalah yang berlainan menerimanya. Jika ia
jatuh ke tanah yang tandus, maka ia akan tumbuh sebagai pendusta, penipu dan
hal lain yang tercela. Tetapi jika ia jatuh ke tanah yang subur, di sana ia
akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, dan budi pekerti yang tinggi
serta perangai lainnya yang terpuji.
Terkadang cinta itu membuat semua
orang jadi bahagia, sengsara, atau bahkan cinta bisa membuat seorang menjadi
tak berdaya, tetapi banyak sekali dari diri kita yang salah menentukan arah
tujuan dari pada cinta! Setiap orang pasti punya rasa cinta, tapi tak setiap
orang dapat merasakan indahnya cinta! Setiap orang pernah bercinta tapi tak
setiap orang mampu mengecap bahagianya cinta...
Semua orang pasti memiliki perasaan cinta, karena hal itu merupakan tabi’at dari manusia itu sendiri. Bukankah Allah SWT pernah berfirman dalam Al-Qur’an; ’’Dijadikan indah pula ( pandangan ) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga). (Qs. Ali imron: 14). Kata-kata itu muncul ketika Ustadz Afandi memberikan ceramah di masjid Baitusy syahid.
”Cinta itu memang anugerah, tetapi juga bisa menjadi musibah! (kata Ustadz).Tergantung kita di dalam mengemasnya..! Jikalau cinta itu kita kemas atas dasar ketakwaan kepada Allah, maka cinta itu akan berbuah menjadi anugerah terindah. Tetapi, jika cinta itu kita kemas atas dasar syahwat, maka cinta itu akan menjadi petaka bagi kita! Seperti yang di alami oleh Abdullah.
Ia adalah seorang anak yang rajin,
sopan, dan murah senyum. Hik’s!
Selama ini ia menjalani aktivitas sehari-hari di pesantren lita’limil Qur’an. Hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, dan detik demi detik, ia gunakan untuk menitih ilmu. Disana, ia dididik, diasuh, dan digembleng oleh ustad-ustad yang sudah mahir di bidang agamanya. Seiring berjalannya waktu, ketika burung berkicau dengan begitu indah, ayam berkokok dengan begitu kerasnya, ketika langit sudah mulai menampakkan pesona keindahannya...( duuh..jadi terharu nih!) para santri bersiap-siap menuju ke masjid untuk memenuhi panggilan Illahi rabbi. Allahu akbar...Allahu akbar...
Suara adzan bergemuruh, menggetarkan hati pendengarnya. Dengan suara yang merdu dan indah seorang mu’adzin melantunkan kalimat takbir.
”Took...! Took...! Kang..bangun..bangun! Sudah waktunya sholat shubuh!”, suara pengurus pesantren yang sedang membangunkan para santri yang masih tertidur lelap di tempat tidurnya, hanya untuk memenuhi panggilan Illahi. “Kang…ayo bangun.” Suara Arif mengajakku. “ada apa kang…?” sahutku yang masih memeluk bantal. ”Sudah waktunya sholat shubuh, ayo kang...bangun!” sahut Arif mendesak. ”Iya..” kataku singkat sambil menarik selimut, ”Ayo...!” sahut Arif sambil menarik bantal dan selimutku, ”iya..iya...!” sambungku masih mengantuk.
Selama ini ia menjalani aktivitas sehari-hari di pesantren lita’limil Qur’an. Hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, dan detik demi detik, ia gunakan untuk menitih ilmu. Disana, ia dididik, diasuh, dan digembleng oleh ustad-ustad yang sudah mahir di bidang agamanya. Seiring berjalannya waktu, ketika burung berkicau dengan begitu indah, ayam berkokok dengan begitu kerasnya, ketika langit sudah mulai menampakkan pesona keindahannya...( duuh..jadi terharu nih!) para santri bersiap-siap menuju ke masjid untuk memenuhi panggilan Illahi rabbi. Allahu akbar...Allahu akbar...
Suara adzan bergemuruh, menggetarkan hati pendengarnya. Dengan suara yang merdu dan indah seorang mu’adzin melantunkan kalimat takbir.
”Took...! Took...! Kang..bangun..bangun! Sudah waktunya sholat shubuh!”, suara pengurus pesantren yang sedang membangunkan para santri yang masih tertidur lelap di tempat tidurnya, hanya untuk memenuhi panggilan Illahi. “Kang…ayo bangun.” Suara Arif mengajakku. “ada apa kang…?” sahutku yang masih memeluk bantal. ”Sudah waktunya sholat shubuh, ayo kang...bangun!” sahut Arif mendesak. ”Iya..” kataku singkat sambil menarik selimut, ”Ayo...!” sahut Arif sambil menarik bantal dan selimutku, ”iya..iya...!” sambungku masih mengantuk.
Semua santri terbangun, kemudian
mengambil air wudhu untuk mensucikan diri. Ada juga dari salah satu santri yang
sudah duduk didepan mimbar sedang melantunkan ayat-ayat Al-qur’an, sementara
santri lain sedang muraja’ah kitab, serta ada yang melakukan sholat rawatib dua
raka’at, dan ada juga santri yang masih sulit untuk dibangunkan, akhirnya
pengurus memercikkan air di mukanya.
Setelah selesai melaksanakan sholat
subuh, semua santri duduk berbaris ke belakang untuk muthola’ah ayat-ayat
Al-qur’an yang sudah pernah dihafalnya, dengan Ustadz Rohman AL.LC. Ada yang
sudah menghafal 1 jus, 5 jus, atau bahkan sampai 30 jus. Pagi yang cerah!
Di mana matahari mulai menampakkan
pancaran sinarnya, terlihat awan yang cerah dan angin yang terhembus menerpa
awan. Sekitar pukul 08.00 para santri mempersiapkan diri dan memulai
melangkahkan kaki.
”kang...cepatlah, ayo kita
berangkat!” Teriak Ardi dengan keras.
”Ustadznya udah hadir belum?” Sahut Ikhsan sambil mencari kitabnya yang telah hilang.” ”sudah kang...Ustadznya sudah menunggu di depan kelas.” balas Ardi dengan tegas. ”Ya akhi..tunggu sebentar”, sahut Ikhsan sambil membawa kitabnya.
Akhirnya merekapun berbondong-bondong (fastabikhul khoirat) menuju ke majlis ta’lim untuk tholabul ’ilmi atau mencari ilmu. Yeap’s! Ketika para santri ingin mengkaji kitab Ihya’ ulumuddin dengan pak Ustadz, sebut saja ustadz Imron! Beliau yang mengajarkan ilmu-ilmu syari’at di sana.
”Ustadznya udah hadir belum?” Sahut Ikhsan sambil mencari kitabnya yang telah hilang.” ”sudah kang...Ustadznya sudah menunggu di depan kelas.” balas Ardi dengan tegas. ”Ya akhi..tunggu sebentar”, sahut Ikhsan sambil membawa kitabnya.
Akhirnya merekapun berbondong-bondong (fastabikhul khoirat) menuju ke majlis ta’lim untuk tholabul ’ilmi atau mencari ilmu. Yeap’s! Ketika para santri ingin mengkaji kitab Ihya’ ulumuddin dengan pak Ustadz, sebut saja ustadz Imron! Beliau yang mengajarkan ilmu-ilmu syari’at di sana.
Tuut...! tuut...! (bunyi hujan di
atas genting!) hiip’s..! bunyi bel tanda masuk kelas dibunyikan, semua santri
putra maupun putri memasuki kelas. Di samping itu ada dua orang santri yang
belum memasuki kelas, yaitu aku dan ukhti Ria.
Ku langkahkan kaki menuju tempat yang belum pernah aku memasukinya, ketika sampai didepan pintu, terdengar banyak orang melafadzkan Kalamullah dan kalam rosulullah, hatiku menjadi terenyuh dan tergugah untuk mempelajarinya. Disaat aku telah meresapi dan menghayati ayat-ayatullah, tiba-tiba terlihat sosok wanita bercadar yang memakai kerudung putih berjalan dengan tergesa-gesa menuju majlis ta’lim untuk mempelajari kitab yang di karang oleh imam Ghozali. Sekejap aku melihatnya, terlihat di matanya tampak ada rasa penyesalan yang tiada tara karena terlambat memasuki kelas.
Pada saat itu pula, kami sempat saling bertatap mata satu dengan yang lainya. Kulihat pancaran pesona keindahan di setiap gerak-gerik kelopak matanya..! (deuh..jatuh cinta nih kayaknya!)
Ku langkahkan kaki menuju tempat yang belum pernah aku memasukinya, ketika sampai didepan pintu, terdengar banyak orang melafadzkan Kalamullah dan kalam rosulullah, hatiku menjadi terenyuh dan tergugah untuk mempelajarinya. Disaat aku telah meresapi dan menghayati ayat-ayatullah, tiba-tiba terlihat sosok wanita bercadar yang memakai kerudung putih berjalan dengan tergesa-gesa menuju majlis ta’lim untuk mempelajari kitab yang di karang oleh imam Ghozali. Sekejap aku melihatnya, terlihat di matanya tampak ada rasa penyesalan yang tiada tara karena terlambat memasuki kelas.
Pada saat itu pula, kami sempat saling bertatap mata satu dengan yang lainya. Kulihat pancaran pesona keindahan di setiap gerak-gerik kelopak matanya..! (deuh..jatuh cinta nih kayaknya!)
Akupun memberanikan diri untuk
bertanya, dengan malu-malu kuucapkan sepatah kata, ”Ukhti terlambat ya?”
diapun menjawab dengan begitu anggunnya, ”iya akhi, tadi kitab saya tidak ada di almari.
”Kamu juga kenapa terlambat?”, tanya ukhti.
Dengan santai aku menjawabnya, ”saya anak baru disini, jadi saya tidak begitu paham tentang kegiatan pondok ini”, ”Ohh...begitu ya! sahut ukhti dengan lembut.”
Kemudian, ku ketuklah pintu kelas dengan pelan-pelan.
Took...! took...!
diapun menjawab dengan begitu anggunnya, ”iya akhi, tadi kitab saya tidak ada di almari.
”Kamu juga kenapa terlambat?”, tanya ukhti.
Dengan santai aku menjawabnya, ”saya anak baru disini, jadi saya tidak begitu paham tentang kegiatan pondok ini”, ”Ohh...begitu ya! sahut ukhti dengan lembut.”
Kemudian, ku ketuklah pintu kelas dengan pelan-pelan.
Took...! took...!
Dag..dig...dug...jantung berdetak
begitu kencangnya, ketika ingin memasuki fashlul ’ula (kelas satu), yang pada
saat itu sedang belajar Ihya’ ulumuddin.
Akupun mengucapkan salam:
“Assalamu’alaikum?”
semua santri menjawab: ”wa’alaikum salam.”
Semua orang menatapku keheranan, ada juga yang berteriak mengejekku.
Huu...! huu...! ada yang janjian nih ya kayaknya..! hmm..
Didalam hatiku tidak ada rasa kesal sedikitpun ketika teman-teman mengejekku, mungkin karna saya belum mengenal mereka sepenuhnya. Hanya ’Arif’lah yang aku kenal pada saat itu, karna sebelumnya dialah yang mengantarkanku untuk bertemu dengan KH. Abu ahmad ruhani AL.LC. ketika awal saya mondok di pesantren. Yah, Beliau adalah selaku Amir Ma’had lita’limil Qur’an.
semua santri menjawab: ”wa’alaikum salam.”
Semua orang menatapku keheranan, ada juga yang berteriak mengejekku.
Huu...! huu...! ada yang janjian nih ya kayaknya..! hmm..
Didalam hatiku tidak ada rasa kesal sedikitpun ketika teman-teman mengejekku, mungkin karna saya belum mengenal mereka sepenuhnya. Hanya ’Arif’lah yang aku kenal pada saat itu, karna sebelumnya dialah yang mengantarkanku untuk bertemu dengan KH. Abu ahmad ruhani AL.LC. ketika awal saya mondok di pesantren. Yah, Beliau adalah selaku Amir Ma’had lita’limil Qur’an.
Tetapi aku merasa tidak enak kepada
ukhti yang sama-sama terlambat masuk kelas tadi. Tentu dia sangat malu sekali
atas kejadian pada waktu itu. Raut wajahnya terlihat tampak layu, tatapan
matanya terlihat membiru, Aku mencoba untuk tenangkan diri, aku merasa sangat
bersalah kepada ukhti, dalam hati aku ucapkan; ”maafkan aku ukhti!” (sebelumnya
aku belum mengenal siapa namanya). Setelah aku memasuki kelas, Ustadz Imron
bertanya kepadaku, ”masmukal karim ya Akhi (siapa namamu)?”
Ismi Abdullah Ustadz! (nama saya
Abdullah Ustadz).”
”sebelumnya aku belum pernah melihatmu, kamu santri baru ya disini?” tanya Ustadz bijaksana. ”Na’am (iya) Ustadz!” jawabku lirih. Kemudian Ustadz menyuruhku untuk berta’aruf (berkenalan) dengan teman-teman di depan kelas.
Akupun mulai memperkenalkan diri, ”Assalamu’alaikum wr.wb?” kataku memulai. ”wa’alaikum salam wr.wb” sahut teman-teman.
Pertanyaan demi pertanyan di lontarkan kepadaku. ”Masmukal karim ya akhi?” tanya Hafidz. ”wa ’aina taskunu ya akhi?” sahut Ilham.
”sebelumnya aku belum pernah melihatmu, kamu santri baru ya disini?” tanya Ustadz bijaksana. ”Na’am (iya) Ustadz!” jawabku lirih. Kemudian Ustadz menyuruhku untuk berta’aruf (berkenalan) dengan teman-teman di depan kelas.
Akupun mulai memperkenalkan diri, ”Assalamu’alaikum wr.wb?” kataku memulai. ”wa’alaikum salam wr.wb” sahut teman-teman.
Pertanyaan demi pertanyan di lontarkan kepadaku. ”Masmukal karim ya akhi?” tanya Hafidz. ”wa ’aina taskunu ya akhi?” sahut Ilham.
Udara sejuk di pagi hari, angin
menghembus melewati sela-sela jendela, sementara baling-baling kipas berputar
dengan kencangnya, tetapi udara saat itu terasa sangat panas bagiku. Ku menarik
nafas pelan-pelan, dan ku mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di
lontarkan kepadaku, ”Ismi Abdullah akhi, ana min Purwodadi” jawabku dengan
tenang. Ketika saya berada didepan kelas, sayapun melihat seorang wanita
berkerudung putih merengguk sedih tepat di sudut tembok sebelah kiri, ternyata
ia adalah ukhti.
Setelah kejadian itu, hatiku terasa gundah dan piluh, disetiap gerak-gerik langkahku, terpaku dalam kalbu, di setiap jangkauan pandanganku terlintas bayangan kelembutan senyum manis yang menghiasi wajah, terlintas bayangan wajah ukhti. Bahkan, disaat aku membaca kalamullah, disetiap lantunan ayat yang aku baca, terbayang-bayang semua tentangnya, keanggunan prilakunya, tutur katanya, bahkan kerudungnya...! hip’s!
Ya Allah..
Setelah kejadian itu, hatiku terasa gundah dan piluh, disetiap gerak-gerik langkahku, terpaku dalam kalbu, di setiap jangkauan pandanganku terlintas bayangan kelembutan senyum manis yang menghiasi wajah, terlintas bayangan wajah ukhti. Bahkan, disaat aku membaca kalamullah, disetiap lantunan ayat yang aku baca, terbayang-bayang semua tentangnya, keanggunan prilakunya, tutur katanya, bahkan kerudungnya...! hip’s!
Ya Allah..
Ampunilah hambamu ini.. hamba tidak
kuat menahan rasa yang terus menghambur di dalam hati... Sejenak akupun
termenung dan berkata, ”Apakah ini yang dinamakan cinta?”, selama ini saya
tidak pernah merasakan getaran yang begitu dahsyatnya seperti yang aku rasakan
saat ini. Pada saat itu pula, bibirku bergetar dengan sendirinya, seraya
berkata:
Ooh..ukhti...
Namamu tak terukhir dalam catatan harianku Asal-usulmu tak hadir dalam diskusi kehidupanku Wajah wujudmu tak terlukis dalam sketsa mimpi-mimpiku
Indah suaramu tak terekam dalam pita batinku
Namun, kau hidup mengaliri pori-pori cinta dan semangatku
Sebab, kau adalah hadiah terindah..untukku..! Langitpun sudah mulai semakin gelap, terlihat para santri sedang menghafal hadits ”Arba’in An-nawawi”, mereka sedang menghafal hadits yang ke-13 yang berbunyi: ”Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibbu liakhiihi maa yuhibbu linafsih” artinya, ’Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kamu sekalian, sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’, di sisi lain aku tidak menghafalkan hadits, ku duduk di serambi masjid sedang termenung. Ternyata, aku masih memikirkan Ukhti yang memakai kerudung putih tadi. Hafidz bertanya kepadaku, ”kenapa akhi termenung gelisah seperti itu?”, ”tidak apa-apa akhi” jawabku menghindar. ”Kenapa Akhi, apa yang terjadi? Hari ini kamu terlihat sedih sekali, kenapa?” desak Hafidz sambil memegang bahu kiriku. ”aku sedang memikirkan sesuatu Akhi, hatiku sedih, dan aku merasa bersalah”, sahutku. ”Laa tahzan innallaha ma’anaa (jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita)” sahut Umar menasehati.
Allahu akbar...Allahu akbar...Suara adzan telah di kumandangkan! Semua santri bergegas menuju ke masjid untuk melaksanakan sholat magrib secara berjama’ah. Setelah selesai sholat, para santri mempersiapkan diri untuk mengaji kitab Riyadus shalihin, karangan Imam An-nawawi dengan Ustadz Abu ahmad ruhani AL.LC. Beliau membuka kajian itu dengan ucapan salam, ”Assalamu’alaikum wr.wb.” sahut para santri, ”wa’alaikum salam wr.wb.” Kemudian, beliau memberikan hikmah tentang ”Takwa”, salah satunya yaitu didalam Surat Ath-Thalaq ayat 2, ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberi jalan keluar baginya dan Allah akan memberi rezeki dari arah yang tiada di sangka-sangkanya.” Begitu indah beliau menguraikannya, sehingga dapat menyentuh kalbu. Setelah selesai memberikan materi, Ustadz bertanya kepada para santri, ”siapa yang tidak menghafalkan hadits Arba’in An-nawawi hari ini?” semua santri terdiam. ”Coba maju kedepan” lanjut Ustadz. Akhirnya, tiga orang santri maju kedepan, yaitu Asep, Yahya, dan Abdullah. Satu persatu mereka ditanya bagaimana bisa sampai tidak menghafalkan hadits.
Ooh..ukhti...
Namamu tak terukhir dalam catatan harianku Asal-usulmu tak hadir dalam diskusi kehidupanku Wajah wujudmu tak terlukis dalam sketsa mimpi-mimpiku
Indah suaramu tak terekam dalam pita batinku
Namun, kau hidup mengaliri pori-pori cinta dan semangatku
Sebab, kau adalah hadiah terindah..untukku..! Langitpun sudah mulai semakin gelap, terlihat para santri sedang menghafal hadits ”Arba’in An-nawawi”, mereka sedang menghafal hadits yang ke-13 yang berbunyi: ”Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibbu liakhiihi maa yuhibbu linafsih” artinya, ’Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kamu sekalian, sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’, di sisi lain aku tidak menghafalkan hadits, ku duduk di serambi masjid sedang termenung. Ternyata, aku masih memikirkan Ukhti yang memakai kerudung putih tadi. Hafidz bertanya kepadaku, ”kenapa akhi termenung gelisah seperti itu?”, ”tidak apa-apa akhi” jawabku menghindar. ”Kenapa Akhi, apa yang terjadi? Hari ini kamu terlihat sedih sekali, kenapa?” desak Hafidz sambil memegang bahu kiriku. ”aku sedang memikirkan sesuatu Akhi, hatiku sedih, dan aku merasa bersalah”, sahutku. ”Laa tahzan innallaha ma’anaa (jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita)” sahut Umar menasehati.
Allahu akbar...Allahu akbar...Suara adzan telah di kumandangkan! Semua santri bergegas menuju ke masjid untuk melaksanakan sholat magrib secara berjama’ah. Setelah selesai sholat, para santri mempersiapkan diri untuk mengaji kitab Riyadus shalihin, karangan Imam An-nawawi dengan Ustadz Abu ahmad ruhani AL.LC. Beliau membuka kajian itu dengan ucapan salam, ”Assalamu’alaikum wr.wb.” sahut para santri, ”wa’alaikum salam wr.wb.” Kemudian, beliau memberikan hikmah tentang ”Takwa”, salah satunya yaitu didalam Surat Ath-Thalaq ayat 2, ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberi jalan keluar baginya dan Allah akan memberi rezeki dari arah yang tiada di sangka-sangkanya.” Begitu indah beliau menguraikannya, sehingga dapat menyentuh kalbu. Setelah selesai memberikan materi, Ustadz bertanya kepada para santri, ”siapa yang tidak menghafalkan hadits Arba’in An-nawawi hari ini?” semua santri terdiam. ”Coba maju kedepan” lanjut Ustadz. Akhirnya, tiga orang santri maju kedepan, yaitu Asep, Yahya, dan Abdullah. Satu persatu mereka ditanya bagaimana bisa sampai tidak menghafalkan hadits.
Ustadz bertanya kepada Asep,
”bagaimana bisa kamu tidak menghafal Sep?”
”Saya tadi lupa Ustadz”, jawab Asep.
Kemudian, Ustadz meneruskan pertanyaan, ”kenapa bisa lupa Sep, apa yang kamu kerjakan selama hari ini?” ”saya tadi di suruh Ustadzah Nisa’ untuk membeli kitab di Zia, pusat pembelian kitab.” saya tidak sempat menghafal Ustadz! Afwan...sahut Asep sambil menundukkan kepala.
”Saya tadi lupa Ustadz”, jawab Asep.
Kemudian, Ustadz meneruskan pertanyaan, ”kenapa bisa lupa Sep, apa yang kamu kerjakan selama hari ini?” ”saya tadi di suruh Ustadzah Nisa’ untuk membeli kitab di Zia, pusat pembelian kitab.” saya tidak sempat menghafal Ustadz! Afwan...sahut Asep sambil menundukkan kepala.
Kemudian Ustadz melontarkan
pertanyaan kepada yahya, ”kalau kamu kenapa ya?”...jawab yahya dengan gemetar,
”Aaa..a...a..ku, tadi ketiduran Ustadz!”.
”Kenapa bisa?” tanya Ustadz kembali.
”tadi habis bermain kurotal kodam (sepak bola) Ustadz!”...jawab yahya.
”Sebagian dari (kualitas) yang baik dari keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya, Paham?” lanjut Ustadz menasehati. ”iya Ustadz, saya paham!” jawab yahya menyesal. Malam begitu terang saat itu, terlihat bulan yang di selimuti banyak bintang, angin menghembus kencang, udara terasa dingin. Menggambarkan suasana hatiku pada waktu itu, tubuhku menjadi dingin seperti angin yang menghembus kencang menerpa dedaunan kering, ketika ustadz memberikan pertanyaannya kepadaku. ”Kenapa kamu tidak menghafal Abdul?” tanya Ustadz lirih. ”Saya tidak tahu Ustadz kalau di suruh menghafalkan hadits!” jawabku pelan. ”ya sudah tidak apa-apa, besok dihafalkan ya?” sahut Ustadz memaklumi.
”Kenapa bisa?” tanya Ustadz kembali.
”tadi habis bermain kurotal kodam (sepak bola) Ustadz!”...jawab yahya.
”Sebagian dari (kualitas) yang baik dari keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya, Paham?” lanjut Ustadz menasehati. ”iya Ustadz, saya paham!” jawab yahya menyesal. Malam begitu terang saat itu, terlihat bulan yang di selimuti banyak bintang, angin menghembus kencang, udara terasa dingin. Menggambarkan suasana hatiku pada waktu itu, tubuhku menjadi dingin seperti angin yang menghembus kencang menerpa dedaunan kering, ketika ustadz memberikan pertanyaannya kepadaku. ”Kenapa kamu tidak menghafal Abdul?” tanya Ustadz lirih. ”Saya tidak tahu Ustadz kalau di suruh menghafalkan hadits!” jawabku pelan. ”ya sudah tidak apa-apa, besok dihafalkan ya?” sahut Ustadz memaklumi.
Pada saat itu pula, aku melihat
wajah ukhti yang berada di sebelah kanan tiang masjid. Wajah paras, elok,
anggun, nan indah terpadu menjadi satu. Hatiku berbunga-bunga dibuatnya,
tubuhku terasa kaku karenanya. Ooh..! Sungguh diriku tak kuat menahan rasa yang
terus menggelut di dalam hati. Malam semakin gelap, semua santri pulang ke
pondok untuk beristirahat.
Huuupps...! huuups...! Suara santri
yang sedang menyedu teh hangat, terasa manis, dan enak. Sedangkan aku berada di
tempat tidur, memeluk bantal sambil menghitung genting yang berada di atas
tempat tidur. Kemudian Arif menghampiriku dengan membawa secangkir teh hangat.
”Kenapa Dul?” tanya Arif mengganggu.
”Gak..!” jawabku singkat.
”Ayo..ayo..kenapa? jatuh cinta ya?”
sahut Arif menggoda.
”Yee..siapa coba yang jatuh cinta?”
jawabku mengelak.
”Ayo..sama siapa? ngaku saja, siapa
tahu saya nanti bisa bantu!” sahut Arif.
Akupun sedikit berfikir, akhirnya
aku menceritakan semuanya kepada Arif. Terdengar suara keras ke arahku,
Ha...ha....ha....! ”Arif tertawa terbahak-bahak, mengejekku!”... wajahku tampak
pucat saat itu, ku mencoba untuk tenangkan diri, terbesit di telingaku
kata-kata maaf. ”Maaf Dul...maaf...! aku tidak bermaksud untuk mengejekmu, aku
hanya heran saja, masak cowok selugu kamu bisa jatuh cinta?” sahut Arif meminta
maaf.
”Cinta itu khan anugerah Rif, emangnya gak boleh ya, kalau aku jatuh cinta!” sahutku singkat. ”boleh sih, tapi.....?” kata Arif penuh makna.
”Tapi kenapa?” jawabku penasaran. ”kalau boleh tahu, siapa sih yang membuat hati kamu jadi luluh seperti ini?”...”hmm...!” wajahku memerah tampak malu, hanya kata itulah yang terucap dalam bibirku. ”Ehem..kamu jatuh cinta sama Ukhti Ria ya?” sahut Arif menggoda.
”Cinta itu khan anugerah Rif, emangnya gak boleh ya, kalau aku jatuh cinta!” sahutku singkat. ”boleh sih, tapi.....?” kata Arif penuh makna.
”Tapi kenapa?” jawabku penasaran. ”kalau boleh tahu, siapa sih yang membuat hati kamu jadi luluh seperti ini?”...”hmm...!” wajahku memerah tampak malu, hanya kata itulah yang terucap dalam bibirku. ”Ehem..kamu jatuh cinta sama Ukhti Ria ya?” sahut Arif menggoda.
Jadi, namanya Ukhti Ria ya? Sahutku
dengan kilat. Upp’s..ketahuan deh!
”Ooh..gitu tho! Bener khan apa yang aku bilang!” hik’s...Arif tersenyum kepadaku.
”Iya deh iya...aku ngaku, aku memang sedang jatuh hati kepada Ukhti..!”...akhirnya kami pun tersenyum dan tertawa bersama.
”Ooh..gitu tho! Bener khan apa yang aku bilang!” hik’s...Arif tersenyum kepadaku.
”Iya deh iya...aku ngaku, aku memang sedang jatuh hati kepada Ukhti..!”...akhirnya kami pun tersenyum dan tertawa bersama.
Malam semakin gelap, semua kamar
tertutup dan semua lampu mati, semua santri telah tertidur pulas. Hanya lampu
kamarkulah yang masih hidup, karena aku masih bersendau gurau dengan Arif, yang
kebetulan dia satu kamar denganku. Wuussst...! Suara angin malam yang menerjang
ranting pepohonan. Kulihat suasana malam yang sunyi sepi, akhirnya akupun
berbaring di tempat tidur tepat di sebelahnya Arif, dan akupun mulai membaca
do’a, ”Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut”....dan akhirnya akupun
tertidur. Dinyalakanya saklar lampu yang lebih terang. Kulirik jam weker yang
berada di atas meja belajar. Pukul 03.10. waktunya qiyamul lail. Akupun mulai
beranjak dari tempat tidur, ku carilah sandal jepit jelekku yang berada di rak.
Masih terbayang sehelai kain yang dililitkan di mahkota terindah. Yeah...wajah
Ukhti masih saja hinggap di benak hati dan pikiranku. Segera ku ambil air
wudhu, dan ku gelar sajadah kesayanganku. Yeap’s! Sajadah yang selalu
menemaniku di kala aku sedang sedih. Dengan hati yang tulus ikhlas, akupun
mulai melafadzkan kalimat takbir.
”Ya Rabbi ya Rahman ya Rahim...tak
sedikitpun hamba berniat untuk berpaling darimu, hamba hanya tak kuat menahan
gejolak yang bersemayam di dalam kalbu.” Ku ungkapkan semua keluh kesah yang
ada di benak hati. Malam begitu sunyi, terlihat bulan dan bintang bersinar
terang menyinari kegelapan alam.
Ku goreskan pena dengan tinta warna
hitam di atas selembar kertas, yang di dalamnya tertuliskan perasaan dan isi
hatiku yang paling dalam. ”Sejak pertama kali aku melihatmu, dirimu selalu
hadir dalam mimpi-mimpiku, wajah wujudmu selalu ada di setiap langkah kakiku,
suaramu terekam dalam pita batinku, kau hidup mengaliri pori-pori cinta dan
semangatku, ternyata diriku telah jatuh hati padamu.”... ku kirimkan surat ini
lewat Arif. Setelah selesai mengaji Arif memberikan surat ini kepada Ukhti Ria.
”Assalamu’alaikum Ukhti?” kata Arif memanggil.
”Wa’alaikum salam, ada apa Akhi?” Sahut Ukhti Hidayah teman Ukhti Ria.
”Tidak, aku hanya ada perlu sedikit dengan Ukhti Ria. Dia ada tidak?” sahut Arif tergesa-gesa. ”Afwan Akhi, Ukhti Ria sedang mengisi acara di majlis ta’lim KAMAL (kuliah mu’alimil Qur’an), ada perlu apa ya? Nanti akan saya sampaikan kepada Ukhti Ria!” sahut Ukhti Hidayah. ”Iya Ukhti, saya Cuma ingin menyampaikan bincisan kecil ini buat Ukhti Ria, tolong sampaikan ya! Dan jangan dibaca dulu sebelum Ukhti Ria yang membacanya.” Sahut Arif. ”Iya Akhi Insyaallah.” balas Ukhti Hidayah. ”Ya sudah, Syukron katsiron. Jazakillahu ahsanal jaza’...! Sahut Arif sambil melambaikan tangan.
”Assalamu’alaikum Ukhti?” kata Arif memanggil.
”Wa’alaikum salam, ada apa Akhi?” Sahut Ukhti Hidayah teman Ukhti Ria.
”Tidak, aku hanya ada perlu sedikit dengan Ukhti Ria. Dia ada tidak?” sahut Arif tergesa-gesa. ”Afwan Akhi, Ukhti Ria sedang mengisi acara di majlis ta’lim KAMAL (kuliah mu’alimil Qur’an), ada perlu apa ya? Nanti akan saya sampaikan kepada Ukhti Ria!” sahut Ukhti Hidayah. ”Iya Ukhti, saya Cuma ingin menyampaikan bincisan kecil ini buat Ukhti Ria, tolong sampaikan ya! Dan jangan dibaca dulu sebelum Ukhti Ria yang membacanya.” Sahut Arif. ”Iya Akhi Insyaallah.” balas Ukhti Hidayah. ”Ya sudah, Syukron katsiron. Jazakillahu ahsanal jaza’...! Sahut Arif sambil melambaikan tangan.
Sudah hampir dua hari aku menunggu
jawaban dari Ukhti...Akhirnya, pagi itu...! Pagi yang amat cerah, sementara
sang surya utuh menampakkan sinarnya, hembusan kencang awan pagi membuatku
belum cukup punya nyali untuk menerima jawaban yang diberikan oleh Ukhti. Ku
mencoba untuk tenangkan diri, bibir bergetar melantunkan ayatullah
”Robbissrohli shodri wayassirlii amri wahlul ukdatan min lisaani yafqahuu
khouli”, tubuhku tiba-tiba menggigil kedinginan, ketika Ukhti Ria memberikan
sesuatu kepadaku. Yeap’s! seuntai kata yang tertuliskan di selembar kertas
warna merah muda, kemudian dimasukkanya ke dalam buku kecil nadham jurumiyah.
Ternyata itu adalah jawaban yang diberikan oleh Ukhti kepadaku. Malam itu
adalah merupakan malam bersejarah bagi kehidupanku, yang mungkin tidak akan
pernah aku lupakan di sepanjang denyut nadiku. Setelah menata hati, ku ambil
surat yang diberikan oleh Ukhti yang berada diatas meja belajarku. Ku awali
membuka surat itu dengan membaca Basmalah ”Bismillahirrahmaanirrahim”, tanganku
gemetar ketika ingin membaca surat itu. Kemudian kulepaslah pita yang diikatkan
pada amplop surat, kubaca dengan suara lirih, didalamnya berisikan kata-kata
penuh makna. Astagfirullah! Tiba-tiba hatiku terkejut ketika membaca isi surat
pada paragraf terakhir, pada akhiran surat tertuliskan:
Bukan maksudku menyakiti hati Diriku
hanya tidak ingin membuatmu menjadi rapuh
Ku tak ingin engkau terombang-ambing Sebagaimana ranting pohon yang di terjang angin
Sebenarnya....diriku sudah ada yang memiliki Satu minggu sebelum engkau mengirimkan surat kepadaku, aku sudah di khitbah oleh Ilham mishbahul munir, putra dari Ustadz Rohman! Maafkan aku Akhi, semoga engkau mendapatkan pengganti yang lebih baik dari pada aku. Sekali lagi maafkanlah aku.....! Kurapatkan jaket. Kupeluk kedua lutut menempel di dada, bertopang dagu sambil melamun.
Ku tak ingin engkau terombang-ambing Sebagaimana ranting pohon yang di terjang angin
Sebenarnya....diriku sudah ada yang memiliki Satu minggu sebelum engkau mengirimkan surat kepadaku, aku sudah di khitbah oleh Ilham mishbahul munir, putra dari Ustadz Rohman! Maafkan aku Akhi, semoga engkau mendapatkan pengganti yang lebih baik dari pada aku. Sekali lagi maafkanlah aku.....! Kurapatkan jaket. Kupeluk kedua lutut menempel di dada, bertopang dagu sambil melamun.
Hatiku hancur berkeping-keping
seperti ceriping yang digiling-giling setelah selesai membaca surat itu. Diriku
berada didalam kesedihan yang berkepanjangan, tubuhku yang kurus tampak semakin
terlihat kurus. Wajahku tampak kusut tak bercahaya, bayang-bayang wajahnya
masih saja terus menghantuiku....! Uuch...! sungguh terasa perih hatiku,
sungguh diriku sudah tidak ada gunanya lagi untuk hidup.
”Sedih ya sedih, tapi jangan menyiksa diri sendiri seperti itu dong!” kata Arif menasehati sambil memegang pundak kananku. ”Habis, kok bisa-bisanya cintaku yang tulus berbalik menusukku seperti ini, apa salahku Rif?” sahutku sedih.
”Kamu tidak salah Abdul, tetapi..cinta kamu yang terlalu berlebihan itu yang membuat kamu menjadi tidak siap untuk menghadapi cobaan ini.
”Sedih ya sedih, tapi jangan menyiksa diri sendiri seperti itu dong!” kata Arif menasehati sambil memegang pundak kananku. ”Habis, kok bisa-bisanya cintaku yang tulus berbalik menusukku seperti ini, apa salahku Rif?” sahutku sedih.
”Kamu tidak salah Abdul, tetapi..cinta kamu yang terlalu berlebihan itu yang membuat kamu menjadi tidak siap untuk menghadapi cobaan ini.
Kebahagiaan atas cinta pada manusia
itu terbatas masa berlakunya. Beda banget dengan cinta sama Allah. Cinta Allah
itu indah, kekal, tanpa pamrih, dan gak kenal kata putus.....! Ayo Abdul
semangat...tunjukin sama Allah bahwa kamu itu Ikhwan yang tabah dan kuat dalam
menghadapi cobaan. Dan yakinlah, sesungguhnya dengan mengingat Allah hati kita
akan menjadi tenang.” kata Arif menghibur.
”Iya Rif, apa yang kamu katakan itu
benar, cinta kepada makhluk itu sifatnya hanya sementara. Berbeda halnya cinta
kepada Allah. Sesungguhnya, masih banyak lagi sesuatu yang jauh lebih
bermanfaat yang harus aku kerjakan, dibandingkan saya terus menerus terpuruk
dalam kesedihan.” kataku sambil berdiri.
”Nah, begitu dong...! itu baru
sahabatku...!” sahut Arif sambil mengacungkan ibu jari tangannya. Akhirnya
kamipun tersenyum bersama, dan ku dekap erat tubuh Arif sambil menggenggam jari
tangannya. Pesan; ” Cintailah orang yang mencintaimu sewajarnya saja, karena
bisa jadi orang yang engkau cintai akan berbalik membencimu pada suatu masa,
dan Bencilah orang yang membencimu sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang
engkau benci akan berbalik mencintaimu pada suatu masa.”
TAKDIR ILLAHI
Bekti adalah pemuda yang taat
beragama apalagi kepeda kedua orang tua. Ia sangat menghormati siapapun.
Ameskipun ia masih sangat muda, namun Ilmu agama yang ia miliki tidak kalah
dengan ustad. Maklum saja, dia adalah pemuda jebolan pesantren. Namun demikian
dia sama sekali tidak memperlihatkan ilmu yang ia miliki sedikitpun, apalagi di
panggil ustad, dia tidak mau. Dia tetap rendah hati dan tidak sombong sama
sekali. Malah dia cenderung menyembunyikan Ilmu yang ia miliki. Kehidupannya
pun sederhana. Sehari-hari dia mengais rizki dari bengkel kecil di rumahnya.
Tidak seperti orang pada umumnya, dia tidak bingung dengan apa yang akan
dimakan besok jika bengkel sedang sepi. Bagi saya cuma satu kalimat ungkapan
untuk dia “pemuda idaman setiap wanita”. Bagaimana tidak, sudah pintar,
sederhana, soleh lagi. Wah benar-benar perfect.
Meski begitu ia memiliki teman dari
berbagai kalangan. Ia juga tidak membeda-bedakan siapapun dalam berteman.
Sampai suatu hari salah seorang temannya, sebut saja Udin, akan menikah. Udin
meminta dia untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya. Dia dan Udin memang
sudah seperti saudara. Orang tuanya Udan juga sudah menganggap Heri
seperti anaknya sendiri. Heri juga diperkenalkan dengan calon istrinya Udin.
Dyah namanya. Gadis berjilbab yang cantik dan solihah.
Dan merekapun mulai mempersiapkan
segala sesuatu untuk pernikahan Udin. Mulai dari akad nikah, resepsi, persewaan
perlengkapan, juga undangan tentunya. Tak seharipun mereka lalui tanpa bersama
saat proses persiapan pernikahan ini. Persiapan sudah hampir rampung. Hanya
tinggal menyebar undangan saja.
Namun kali ini Udin sendirian tanpa
ditemani Heri. Saat perjalanan menuju rumah saudaranya, sesuatu tak terduga
terjadi pada Udin.
“Bresss…”, kecelakaan menimpa Udin.
“kring..kring..kring.., nada dering handphone Bekti pun berbunyi.
“Assalamu’alaikum..”, belum sempat Bekti bertanya dari siapa telepon ini, sambil serius mendengarkan orang yang menelepon, tiba-tiba terucap oleh mulut Bekti, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Ternyata itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa sahabat karipnya itu kecelakaan. Tanpa pikir panjang Bekti langsung tancap gas menuju rumah sakit.
“Bresss…”, kecelakaan menimpa Udin.
“kring..kring..kring.., nada dering handphone Bekti pun berbunyi.
“Assalamu’alaikum..”, belum sempat Bekti bertanya dari siapa telepon ini, sambil serius mendengarkan orang yang menelepon, tiba-tiba terucap oleh mulut Bekti, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Ternyata itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa sahabat karipnya itu kecelakaan. Tanpa pikir panjang Bekti langsung tancap gas menuju rumah sakit.
Di saat pernikahan sudah di depan
mata, Udin justru meregang nyawa. Kondisinya kritis karena kehilangan banyak
darah. Keluarga berkumpul. Semua usaha telah maksimal dilakukan oleh dokter.
Hanya do’a yang tersisa.
Pada saat-saat terakhir Udin ingin
mengatakan sesuatu yang mungkin itu adalah permintaan terakhirnya. Dokter pun
mempersilakan Heri untuk masuk. Namun hanya Heri dan Dyah yang diminta Udin
untuk masuk. Tak lama kemudian Heri dan Dyah keluar. Sementara Dyah tak kuasa
menahan tangis, untuk yang kedua kalinya terucap kata dari mulut Heri,
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Tangis Dyah semakin pecah dan seluruh
keluarga pun tak dapat menahan sesuatu yang memaksa keluar dari mata mereka.
Suasana yang semula penuh kebahagiaan, kini berubah menjadi mendung.
Tujuh hari penuh selepas pemakaman,
keluarga beserta para tetangga menggelar tahlilan dan di,a bersama yang ditujukan
tentu saja untuk Almarhum Udin. Dyah masih belum bisa mengikhlaskan kepergin
calon suaminya itu. Entah apa yang harus Dyah dan keluarganya lakukan. Undangan
telah tersebar. Dua minggu lagi akad dan resepsi seharusnya digelar. Namun
mereka hanya bisa berdo’a kepada Illahi Robbi, agar diberikan ketegaran atas
musibah ini.
Rupanya Alloh menyimpan takdir lain
untuk mereka semua…
Setelah usai 7 hari tahlilan, Bekti baru berani untuk mengatakan pesan terakhir yang disampaikan oleh Almarhum
Udin. Heri pun mengumpulkan keluarganya, keluarga Almarhum Udin, dan keluarga
Dyah. “Ada apakah gerangan kau mengumpulkan kami semua, nak?”, Tanya ayah
almarhum.
“Sebelumnya saya mohon maaf karena
mengumpulkan kalian tidak pada waktu yang tepat. Ada yang harus saya sampaikan.
Ini mengenai pesan terakhir yang disampaikan almarhum kepada saya.”, jelas
Bekti.
“Baiklah, lanjutkan ceritamu!”,ayah Dyah
menyambung.
“Sesaat sebelum Alloh memangggilnya, ia berkata padaku ingin menyampikan sebuah amanah untukku. Bahwa aku harus menjaga calon istrinya dan menggantikan posisinya dengan kata laun aku yang harus menikahi Dyah. Dan Dyah pun tahu akan amanah ini.”, jelas Bekti dengan lebar.
“Sesaat sebelum Alloh memangggilnya, ia berkata padaku ingin menyampikan sebuah amanah untukku. Bahwa aku harus menjaga calon istrinya dan menggantikan posisinya dengan kata laun aku yang harus menikahi Dyah. Dan Dyah pun tahu akan amanah ini.”, jelas Bekti dengan lebar.
“Benarkah itu Dyah?”, Tanya ibunya.
“Benar, Bu….”, jawab Dyah sambil menahan air mata.
“Subhanalloh…. Ini adalah amanah yang wajib kau laksanakan, nak. Insya Alloh kami semua ikhlas karena ini adalah permintaan almarhum yang sudah kau anggap saudaramu sendiri. Bukan begitu Pak, Bu?”, jelas Ayah almarhum.
“Iya, kami semua ikhlas dengan amanah ini. Kami yakin ini semua adalah rencana Alloh untuk kalian juga semua yang ada di sini.”, jawaban Ibu Dyah ini didukung oleh anggukan setuju dari semua keluarga. “Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan Kuasa-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan, tapi Alloh jualah yang menetukan. Laksanakanlah amanah ini, nak!”, Perintah ayah Bekti.
“Subhanalloh, Insya Alloh saya akan melaksanakan amanah ini. Bagaimana denganmu Dyah, maukah kaumenerimaku sebagai pengganti almarhum?”, Tanya Bekti.
“Benar, Bu….”, jawab Dyah sambil menahan air mata.
“Subhanalloh…. Ini adalah amanah yang wajib kau laksanakan, nak. Insya Alloh kami semua ikhlas karena ini adalah permintaan almarhum yang sudah kau anggap saudaramu sendiri. Bukan begitu Pak, Bu?”, jelas Ayah almarhum.
“Iya, kami semua ikhlas dengan amanah ini. Kami yakin ini semua adalah rencana Alloh untuk kalian juga semua yang ada di sini.”, jawaban Ibu Dyah ini didukung oleh anggukan setuju dari semua keluarga. “Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan Kuasa-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan, tapi Alloh jualah yang menetukan. Laksanakanlah amanah ini, nak!”, Perintah ayah Bekti.
“Subhanalloh, Insya Alloh saya akan melaksanakan amanah ini. Bagaimana denganmu Dyah, maukah kaumenerimaku sebagai pengganti almarhum?”, Tanya Bekti.
Tanpa berkata, Dyah hanya mengangguk
seraya tersenyum Bekti.
“Alhamdulillah…..”, seluruh keluaraga memuji Asma Alloh dengan nafas yang lega.
Hari yang ditunggu telah tiba. Bekti mengucap ijab qobul dengan lancer. Seluruh keluarga tersenyum haru. Namun banyak raut muka yang menyimpan tanda tanya akan kejadian. Tapi tidak jadi masalah, karena ini sudah menjadi takdir Allah.
“Alhamdulillah…..”, seluruh keluaraga memuji Asma Alloh dengan nafas yang lega.
Hari yang ditunggu telah tiba. Bekti mengucap ijab qobul dengan lancer. Seluruh keluarga tersenyum haru. Namun banyak raut muka yang menyimpan tanda tanya akan kejadian. Tapi tidak jadi masalah, karena ini sudah menjadi takdir Allah.
0 komentar:
Posting Komentar